Penjahit Pakaian Tradisional Minang


HAJI Fahmi,54, duduk di depan mesin jahit. Tangan kanannya memegang gunting. Tangan kiri menarik selembar kain merah. Setelah mematut-matut beberapa menit, kain sepanjang tiga depa itu langsung diguntingnya. Telaten betul dia menggunting.
"Kalau menggunting kain, sudah makanan sehari-hari saya. Yang saya tak bisa adalah menggunting dalam lipatan,"ucap Haji Fahmi setengah berkelakar di "ruang kerjanya" Pasar Inpres Nomor M8 Payakumbuh, awal September 2009 lalu.
Haji Fahmi merupakan satu dari tiga penjahit pakaian adat Minangkabau, yang masih tersisa di Kota Payakumbuh. Penjahit lain diantaranya bernama Nini Marlin. Mereka semua, disamping memiliki kedai di pasar Inpres, juga membuka usaha di rumah masing-masing.
"Walau penduduk Payakumbuh  100 ribu jiwa lebih. Mayoritas etnis Minang fanatik. Namun, untuk urusan jahit-menjahit pakaian Minang, jumlah penjahitnya hanya tiga orang. Salah satunya, ya itu Haji Fahmi,"ujar Yulfian Azrial, penulis sekaligus pemerhati kebudayaan di Luhak Limopuluah, secara terpisah.
Haji Fahmi sendiri, sudah 20 tahun menggeluti dunia jahit-menjahit pakaian Minang. Keahlian tersebut, sebagaimana pengakuannya, diwarisi dari orang tuanya, pasangan suami-istri (Alm) H Zakir- Hj Lanjawilis.
"Orang tua saya dulunya juga penjahit pakaian adat Minang. Dari merekalah, saya banyak belajar, bagaimana cara membuat baju penghulu, baju randai, dan celana batik. Hingga kemudian, saya juga bisa membuat pakaian adat suku bangsa lain di tanah air,"imbuh lelaki asal Koto Nan Godang, Payakumbuh ini.
Dengan keterampilan menjahit pakaian , Haji Fahmi bisa menghidupi istrinya Husniarti, semasa sang istri masih hidup. Juga dengan usaha menjahit pula, pria berperawakan tenang ini bisa menyekolahkan keempat anaknya. Masing-masing bernama Taufik Zulfahmi, 27, Nila Mardiah, 24, Sri Mulyati, 22, dan Yusran Ilyas, 19.
"Dari empat anak saya itu, dua orang sudah sarjana. Sudah mau mengambil gelar S2 pula. Satu orang masih kuliah di Unand. Dan satu lagi, mendampingi saya di rumah. Biaya mereka sewaktu kuliah, ditanggung dari usaha menjahit pakaian adat Minang,"ucapnya tanpa maksud berbangga hati.
Pekerjaan Gampang
Meski usaha menjahit pakaian Minang cukup menjanjikan dari segi ekonomi. Namun menurut Haji Fahmi, untuk membuatnya bukanlah pekerjaan gampang, ada falsalah dan makna yang senantiasa harus dijaga.
"Setiap pakaian Minang, mengandung arti. Misalnya saja soal warna. Baju laki-laki warna hitam, itu melambangkan sifat dewasa, ketahananan, dan keuletan. Lalu, baju panghulu harus kita buat gadang (besar), sebagai tanda penghulu itu beralam lapang. Jadi tidak biasa asal buat saja,"sebutnya.
Selama menggeluti usaha sebagai penjahit pakaiat adat. Membuat pakaian penghulu atau datuk adalah pekerjaan paling berkesan sekaligus menantang bagi Haji Fahmi. "Pakaian Datuk atau penghulu itu, seperti saya bilang tadi, punya banyak makna. Ini yang paling menarik,"ujarnya.
Haji Fahmi tentu benar. Budayawan legendaris AA Navis, dalam buku "Alam Terkembang Jadi Guru, Adat Kebudayaan Minangkabau" juga menyebut, pakaian penghulu di Minangkabau, mengandung arti simbolik, baik warna, model, maupun cara memakainya. Misalnya, deta saluak (destar saluak), sengaja dibuat berkerut-kerut, sebagai cerminan akal yang berlipat-lipat, tidak mudah ditafsirkan, dan mampu menyimpan rahasia.
Begitupula dengan baju penghulu, sengaja dibuat tanpa saku dengan panjang sedikit di bawah siku. Sebagai lambang, penghulu tidak menggantungi apapun bagi dirinya, dan penghulu ringan dalam membantu orang lain.
Kemudian, celana penghulu sengaja dibuat longgar, sebagai lambang seorang penghulu mampu membuat kebijaksanaan yang tetap, dengan gerakan yang ringan, santai, dan tidak menyulitkan.
Makna-makna seperti inilah, sebagaimana dikatakan Haji Fahmi, harus dipahami betul oleh setiap penjahit pakaian Minang. "Saya sendiri, siap mempertanggungjawabkan hasil buatan saya. Insya Allah, tidak melenceng dari makna yang ada,"katanya.
Terbentur Pemasaran
Usaha menjahit atau membuat pakaian adat Minang, juga semakin terasa tidak gampang manakala bicara soal pemasaran. Para penjahitnya, betul-betul harus sabar, gigih, dan memiliki semangat jiwa dagang tinggi.
"Sebab, pakaian Minang sekarang lakunya hanya saat ada seremoni adat saja atau Karnaval 17 Agustus. Lebih dari itu, kita harus pandai-pandai menangkap peluang,"ucap Haji Fahmi.
Hal ini tentu bukan pepesan kosong belaka. Haji Fahmi saja, harus bersitungkin mencari celah pemasaran, termasuk bekerjasama dengan para pedagang yang sudah bermodal cukup besar di Bukittingi. Hasilnya, produk Haji fahmi sudah tersebar ke berbagai penjuru daerah di nusantara, tak terkecuali Malaysia.
Namun, satu yang membuat Haji Fahmi agak sedikit risih adalah soal minimnya perhatian dari pemerintah daerah. Menurutnya usaha menjahit pakaian,  bisa berkembang dan besar jika didukung modal kuat. Tapi sayang, sentuhan itulah yang belum pernah datang. Walaupun saat ini, gerakan membangun usaha kecil menengah terus digemakan.
"Kami sendiri, sebenarnya tidak terlalu berharap akan bantuan. Sebab prosedur mengurusnya terlalu banyak. Namun, kalau ada perhatian atau bantuan tentu akan lebih,"kata Haji Fahmi.
Walaupun demikian Haji Fahmi mengaku, tak akan patah hati. Bahkan dia semakin bertekad mempertahankan usahanya. Kapan perlu mewarisi kepada generasi muda. Sebab Fahmi yakin, bagaimanapun perkembangan zaman, pakaian Minang tak akan pernah tergerus. Sebuah keyakinan yang pantas diapresiasi, di tengah kegalauan banyak orang akan nasib kebudayaan daerah di Indonesia.

Sumber:Padang Today

Komentar

Postingan Populer